Nasional

Wasiat Kalabendana

Koranriau.co.id-

Wasiat Kalabendana
Ono Sarwono Penyuka Wayang(MI/Duta)

MUNGKIN karena tubuhnya kurang sempurna dan posisi dalam keluarga sebagai anak buncit, Kalabendana seperti tidak pernah mendapat tempat. Hampir semua kakaknya menganggap dia anak kecil, bodoh, dan tidak mengerti apa-apa.

Akan tetapi, keluarga keturunan mendiang Prabu Tremboko yang menyepelekan saran dan pendapatnya menemui kehancuran. Kalabendana yang diremehkan ternyata titah bertuah, buah dari ketulusan dan kejujuran jiwanya.

Pengabaian terhadap Kalabendana, yang kiprahnya murni menjaga kerukunan dan keutuhan keluarga, berujung kefatalan. Tiga kakaknya mati sia-sia karena bertikai satu sama lain. Mereka kehilangan akal lantaran terbelenggu kuatnya nafsu keliru.

 

Arimba murka

Kalabendana adalah putra bungsu Raja Pringgondani Prabu Tremboko dengan permaisuri Dewi Hadimba. Saudaranya tujuh, semua berwujud raksasa, yaitu Arimba, Arimbi, Brajadenta, Brajamusti, Prabakesa, Brajalamatan, dan Brajawikalpa.

Tidak seperti semua kakaknya, Kalabendana lahir cacat. Tubuhnya bulat pendek, satu tangannya bengkok, bicaranya cadel, dan suaranya sengau. Namun, meski ada kekurangan fisik, hatinya mulia, wataknya jujur, dan menyayangi keluarga.

Pascaperang tanding antara Tremboko dan Raja Astina Prabu Pandu Dewanata yang menewaskan keduanya, Kalabendana menjalin komunikasi dengan keturunan Pandu. Niatnya membangun kerukunan di antara trah kedua penguasa tersebut.

Kalabendana mencegah jangan sampai ada dendam antara anak-cucu Tremboko dan Pandu. Hikmatnya, ayahnya dan Pandu berperang karena terhasut oleh akal jahat Sengkuni. Sesungguhnya Tremboko dan Pandu adalah dua sahabat karib.

Tingkat persahabatan raja Pringgondani dengan raja Astina sudah seperti saudara. Tremboko yang merasa kalah dalam penguasaan ilmu memosisikan diri sebagai cantrik. Oleh karena itu, ia kerap sowan ke Astina untuk menimba ilmu.

Di sisi lain, Pandu menganggap Tremboko sebagai adik sekaligus murid tersayang. Persaudaraan yang hangat itu merembet ke hubungan kekeluargaan yang akrab di antara anak-anak mereka. Hanya gara-gara Sengkuni, harmonisasi mereka hancur.

Akan tetapi, niat baik Kalabendana diabaikan para saudaranya. Malah kakak sulungnya, Arimba, yang menggantikan bapaknya sebagai raja Pringgondani, tidak sepakat dengan adiknya itu. Baginya, keturunan Pandu musuh bebuyutan (selamanya).

Namun, sikap Arimba terhadap Sengkuni berbeda. Hubungannya dengan warga Plasajenar, yang menjabat patih Astina lalu kedudukannya dikukuhlah lagi dalam rezim Prabu Duryudana, itu tetap baik. Sengkuni adalah sahabat dekat.

Pada suatu ketika, Arimbi jatuh cinta kepada Bratasena saat Pandawa membabati hutan Wanamarta sebagai tempat membangun Amarta. Karena cintanya, Arimbi ikut membantu lima putra Pandu mendirikan istana setelah tersusir dari Astina.

Arimba marah besar mengetahui perilaku Arimbi. Adik perempuan satu-satunya dalam keluarga itu dimarahi habis-habisan dan diminta memutuskan hubungan asmaranya dengan Bratasena karena lelaki tersebut musuh Pringgondani.

Arimbi menolak perintah tersebut. Ia merasa tidak bisa berpisah dengan pria pujaannya. Buntutnya terjadi cekcok yang tak terselesaikan hingga Arimbi kabur meninggalkan Pringgondani dan minta perlindungan kepada Bratasena.

 

Brajadenta balela

Kalabendana berusaha meredakan murka Arimba. Ia juga mengingatkan kakaknya agar bijak kepada Arimbi demi keutuhan keluarga. Menurutnya, cinta itu anugerah yang tidak bisa ditolak dan hanya bisa dinikmati dengan penuh rasa syukur.

Arimba, sebagai wakil orangtua, disarankan merestui hubungan Arimbi dengan Bratasena. Tapi, raja muda itu membentak Kalabendana dan menyebutnya lancang menasihati. Lalu, disertai sejumlah prajurit, Arimba ke Amarta menjemput Arimbi.

Arimbi menolak pulang. Bratasena pun kukuh mempertahankan wanita yang telah menjadi istrinya itu sehingga terjadilah peperangan. Arimba mati dan prajurit Pringgondani yang menyertai kocar-kacir.

Sepeninggal Arimba, kesepakatan keluarga menyerahkan kekuasaan Pringgondani kepada Arimbi sebagai anak tertua. Karena mendampingi Bratasena yang tinggal di Kesatrian Jodipati, Arimbi mengendalikan pemerintahan dibantu adik-adiknya.

Pernikahan Arimbi-Bratasena melahirkan putra bernama Gathotkaca. Ketika anak satu-satunya itu beranjak dewasa, Arimbi ingin mengangkatnya sebagai raja Pringgondani. Semua adik sepakat dan mendukung.

Tapi, beberapa hari menjelang penobatan, Brajadenta menolak Gathotkaca sebagai raja. Menurutnya, yang menjadi raja harus keturunan langsung Tremboko. Mendengar kabar itu, Kalabendana menemui kakaknya di kesatrian Glagahtinunu.

Dalam pertemuan itu, Kalabendana mengingatkan Brajadenta untuk tidak merusak kesepakatan keluarga. Tapi, lagi-lagi omongan Kalabendana tidak digubris. Malah digoblok-goblokan dan bila tidak sejalan dengan keinginannya, dijadikan musuh.

Merasa tidak ada gunanya, Kalabendana pergi dan menemui kakaknya yang lain, bertanya apakah mendukung Gathotkaca atau berpihak ke Brajadenta. Ternyata semua menjunjung kesepakatan. Bagaimanapun, Gathotkaca berdarah Pringgondani.

Singkat cerita, pembangkangan Brajadenta dipadamkan. Brajamusti yang menyatu dalam diri Gathotkaca lalu mengancurkan Brajadenta. Kedua pamannya itu mati bareng dan sukmanya menjelma ajian dan masuk ke dua tangan Gathotkaca.

Kalabendana kembali meratap. Impiannya mewujudkan keutuhan dan persatuan keluarga Pringgondani gagal karena kakak-kakaknya terbuai nafsu setan. Arimba mati karena dendam kepada keturunan Pandu, yaitu Pandawa dan putra-putranya.

Kemudian, akibat termakan ocehan busuk Sengkuni, Brajadenta akhirnya mati bersama Brajamusti. Konflik keluarga yang merugikan Pringgondani.

 

Tahu batas

Setelah Gathotkaca naik takhta, Kalabendana sangat dekat dengan keponakannnya itu. Ikhtiarnya mendampingi untuk menjaga persatuan dan memajukan negara. Pringgondani akhirnya menjadi bagian dari kedaulatan Amarta.

Takdirnya, Kalabendana meninggal akibat kesampluk (terhantam) tangan Gathotkaca. Namun, peristiwa dramatis itu tak membuatnya dendam. Sukma Kalabendana menunggu hingga Gathotkaca gugur dalam Perang Bharatayuda.

Kisah Kalabendana ini secara filosofis menggambarkan bahwa kebencian dan pertikaian antarsaudara menghancurkan persatuan dan kesatuan. Poinnya, semua mesti tahu batas sehingga bangsa dan negara terhindar dari perpecahan. (M-3)

Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/weekend/733442/wasiat-kalabendana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *