Koranriau.co.id-

Sebanyak empat orang yang diduga sebagai aktor intelektual di balik kasus Hak Guna Usaha (HGU) Tanah Nangahale di Kecamatan Talibura, Kabupaen Sikka, dilaporkan ke Polda Nusa Tenggara Timur (NTT).
Empat orang yang dilaporkan tersebut yakni AT, IN, JB, dan LL yang di antaranya merupakan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Masyaakat Adat Nusantara (AMAN) dan advokat dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).
Laporan disampaikan oleh Tim Kuasa Hukum PT Krismana dari Forum Komunikasi dan Advokasi Komunitas Flobamora (FKKF) Jabodetabek dan diterima Direktorat Reserse dan Kriminal Umum Polda NTT. PT Krismana adalah perusahaan milik Keuskupan Agung Maumere. “Empat orang ini merupakan terduga aktor intelektual dan ini akan berkembang,” tandas Ketua Tim Kuasa Hukum PT Krismana, Petrus Salestinus di Kupang, Minggu (23/3).
Menurut Petrus, ada tiga laporan yang disampaikan ke polisi, yakni tentang penyerobotan lahan termasuk para penyerobt membawa senjata tajam, dan laporan kedua tentang pengancaman dan penyegelan gereja dan pengancaman terhadap romo. Dua laporan ini sudah diterima polisi pada Jumat (21/3).
Sedangkan laporan ketiga akan disampaikan pekan depan tentang penyebaran berita bohong yang telah menimbulkan kebencian dan perpecahan di masyarakat Nangahale.
Petrus menegaskan, para aktor intelektual mengklaim membela dua kelompok masyarakat dengan sebutan masyarakat adat Suku Soge Natar Mage dan Suku Goban Runut.
Orang-orang ini kemudian membangun gubuk liar berukuran 2×2 meter dan 2×3 meter di lokasi tanah HGU, dan juga merusak fasilitas milik perusahaan. Untuk kasus pengrusakan ini, sebanyak delapan orang telah divonis hukuman masing-masing 10 bulan penjara di Pengadilan Negeri Maumere.
Padahal sesuai fakta, lanjutnya, tidak ada masyarakat adat di sana, bahkan tidak ada tanah adat atau tanah ulayat. “Sesuai UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria, syaratnya (tanah ulayat) ada dua.harus secara nyata ada, dan tidak bertentangan dengan kepentingan NKRI,” tambah anggota Tim Kuasa Hukum, Davianus Hartono Edy.
Menurutnya, tanah HGU tersebut sudah dikelola lebih dari 100 tahun, dan selama itu pula, tidak ada masyarakat adat yang menguasai tanah tersebut. “Muncul persoalan karena sjeak tahun 2000an dan seterusnya, mereka (masyarakat) ini dicuci otaknya bahwa ini adalah hak ulayat yang merupakan hak masyarakat yang disebut suku,” tandas Davianus Hartono Edy.
Kronologi Tanah Nangahale
Menurut Petrus Salestinus, kronologi HGU Tanah Nangahale dimulai pada 1912 atau 113 tahun lalu. Awalnya tanah tersebut dikuasai oleh Perusahaan Belanda bernama Amsterdam Soenda Compagni sebagai suatu Naamlose Vennotschap (NV) atau Perseroan Terbatas (PT) untuk tanaman kapas dan kelapa seluas 1.438 hectare (ha).
Selanjutnya, pada 1926, lahan perkebunan ini dijual oleh NV kepada Apostholic Vikariaat Van De Klaine Soenda Elianden, dan di era kemerdekaan atau pada 1951 berubah nama menjadi Vikariat Apostolik Ende. Ketika itu, tanah seluas 783 ha yang merupakan bagian dari 1.438 ha ini dikembalikan ke negara karena sudah ditempati masyarakat.
Menurutnya, pada 1979, Keuskupan Ende membentuk PT Perkebunan Kelapa Diag untuk mengelola tanah perkebunan tersebut. Barulah pada 1989, perusahaan memperoleh HGU seluas 879 ha sampai 2013. Karena Flores diguncang gempa dan tsunami pada 1992, para korban dari pulau-pulau sekitar diberikan lahan permukiman seluas 102 ha sehingga tanah HGU berkurang menjadi 868,73 ha
Terbentuk Keuskupan Maumere
Berlanjut pada 2006, saat terbentuk Keuskupan Maumere, pemekaran dari Keuskupan Ende, secara otomatis tanah seluas 868,73 ha itu menjadi milik dan dikelola oleh Keuskupan Maumere “Pengalihan aset perkebunan kapas dan kepala ini ke Keuskupan Maumere melalui berita acara, itu sesuai dengan atuan gereja,” jelasnya.
Menjelang HGU berakhir pada 2013, Keuskupan Maumere mengubah nama PT Perkebunan Kelapa Diag menjadi PT Krisrama sampai saat ini, sekaligus mengajukan perpanjangan HGU ke pemerintah. “Permohonan pembaharuan HGU ini terhambat karena ada syarat teknis yang belum dipenuhi yakni adanya keberatan dari masyarakat yang membuat tanah ini dikategorikan terindikasi tanah telantar pada 2017,” sebutnya.
Keberatan tersebut berasal dari masyarakat di Wair Kung, Natarmage dan Likong Gete yang merupakan bagian dari Suku Goban dan Suku Soge. Pihak PT Krisrama kemudian menyetujui pelepasan tanah seluas 488,73 ha untuk diserahkan ke masyarakat sehingga tanah HGU kini hanya tersisa 380 ha. “Kantor ATR/BPN juga sudah mengeluarkan tanah ini dari kategori terindikasi tanah telantar pada 29 September 2020,” jelasnya.
Terkait permohonan pembaharuan HGU, Menurut Petrus Salestinus, Kantor Wilayah Badan Pertanahan NTT melakukan pengukuran ulang tanah Nangahale yang meliputi dua desa yakni Desa Nangahale di Kecamatan Talibura dan Desa Runut di Kecamatan Waigete.
Hasil pengukuran ulang ini, terungkap tanah Nangahale hanya seluas 323 ha dari semula 380 ha yang selanjutnya diterbitkan dalam 10 sertifikat sejak 28 Agustus 2023. Lahan inilah yang di dalamnya yang diklaim sebagai tanah ulayat oleh masyarakat Bersama para aktivis yang berujung dilaporkan ke polisi. (E-2)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/nusantara/754671/tanah-nangahale-memanas-empat-terduga-aktor-intelektual-dilaporkan-ke-polda-ntt