Koranriau.co.id-

KEPALA Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Najib Azca menyebut adanya keinginan pihak tertentu untuk mengembalikan Dwi Fungsi ABRI. Itu, ujar dia, dilakukan dengan cara akan melakukan revisi Undang Undang Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI. Dalam revisi tersebut, akan pemerintah disebutkan akan memperluas jabatan-jabatan sipil yang bisa diisi oleh militer aktif.
Menurutnya hal itu terlihat dengan diangkatnya Letnan Jnderal TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perum Bulog. Pengangkatan tersebut menuai kontroversi dari berbagai kalangan, karena posisi tersebut bukanlah salah satu dari jabatan yang bisa diisi oleh prajurit aktif. Meskipun, ujar Najib, Novi kemudian dinyakan telah berhenti dari dinas kemiliteran.
Najib mengatakan sekarang ini ada peningkatan tren terhadap perluasan jabatan militer di sektor sipil. Padahal berdasarkan konstitusi, kata dia, prajurit militer hanya boleh mengisi jabatan pemerintahan di bidang pertahanan dan keamanan, seperti Badan Intelijen Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, dan Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional.
“Dwifungsi ABRI ini sudah dihilangkan. Sekarang ini sudah mulai dimunculkan kembali bahkan sejak periode kedua pemerintahan Jokowi. Belakangan semakin meluas di pemerintah Presiden Prabowo,” ucap Najib.
Medio tahun lalu, kata Najib, terdapat dua pasal dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang diubah. Pasal 47 dan 53 ditambahkan klausul “Kementerian dan lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”. Artinya, ujarnya setiap prajurit militer yang telah mendapat izin presiden diperbolehkan mengisi posisi di pemerintahan maupun sektor sipil tanpa harus mengundurkan diri dari jabatan militernya.
“Revisi UU TNI ini telah disetujui oleh seluruh fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Sidang Paripurna Mei 2024 lalu,” tegasnya.
Menurut Najib,kecenderungan pemerintah memperluas jabatan sipil yang dapat diisi oleh militer aktif muncul di era pemerintahan Jokowi. Namun di era pemerintahkan Prabowo, ia menilai hal itu kemungkinan semakin meluas dengan latar belakang presiden di militer.
“Revisi ini harus dicermati betul-betul. Jangan sampai hanya memberikan cek kosong kepada pemerintah untuk mengisi apa saja jabatan yang diperlukan. Harus ada diskusi publik yang serius,” tuturnya.
Ia mencatat ada persoalan lain yang perlu diperhatikan yakni sentimen publik terhadap pengisian jabatan sipil oleh militer. Najib menyebutkan, masyarakat masih menganggap militer merupakan nilai-nilai yang superior. Ia mengutip dari hasil survei Kompas pada Maret 2024 lalu, sebanyak 41,1% responden menyatakan tidak setuju jika jabatan sipil diisi oleh TNI-Polri yang masih aktif. Namun persentase yang sama ditunjukkan pada masyarakat yang setuju. Bahkan sebanyak 5,8% menyatakan sangat setuju.
“Ada keyakinan militerisme, di mana nilai-nilai militer dianggap punya kelebihan dibanding sipil. Perlu ada upaya de-militerisme untuk menyadarkan masyarakat bahwa urusan sipil tidak memerlukan militer,” jelas Najib.
Ia menyebutkan teradinya fenomena itu disebabkan oleh masuknya TNI/Polri di jabatan-jabatan sipil yang banyak dilakukan di era Orde Baru, kemudian menumbuhkan sentimen terhadap militer yang disebut militerisme.
Dia mengatakan, partai politik harusnya bisa berperan sebagai representasi politik publik dan mempertegas bahwa sektor-sektor sipil tidak perlu diisi oleh militer. Selain itu, edukasi masyarakat untuk mendukung de-militerisme perlu digencarkan.
“Militer harusnya tetap ditempatkan dalam fungsi pertahanan. Meskipun ada wilayah non-militer yang bisa diberikan, jangan sampai batasan-batasan dihilangkan hingga seolah membangkitkan kembali sistem di era Orde Baru,” katanya. (H-4)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/744797/pskp-ugm-ada-upaya-mengembalikan-dwifungsi-abri-lewat-revisi-uu-tni