Nasional

Penerapan Pancasila di Orde Baru Sejarah dan Dampaknya

Koranriau.co.id-

Penerapan Pancasila di Orde Baru: Sejarah dan Dampaknya
Ilustrasi Gambar Interpretasi Pancasila(Media Indonesia)

Era Orde Baru dalam sejarah Indonesia merupakan periode yang sangat signifikan, terutama dalam hal bagaimana Pancasila diinterpretasikan dan diimplementasikan. Rezim yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade ini memiliki pendekatan tersendiri dalam menafsirkan ideologi negara, yang berimbas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Memahami bagaimana Pancasila digunakan dan disalahgunakan pada masa itu penting untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang perjalanan bangsa Indonesia.

Sejarah Singkat Orde Baru

Orde Baru lahir dari transisi kekuasaan yang penuh gejolak pada pertengahan 1960-an. Setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S), terjadi perubahan signifikan dalam konstelasi politik Indonesia. Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), mengambil alih kendali pemerintahan secara bertahap. Pada tahun 1968, ia resmi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, menggantikan Soekarno.

Salah satu justifikasi utama bagi lahirnya Orde Baru adalah untuk mengembalikan stabilitas politik dan ekonomi yang terpuruk akibat berbagai masalah di era sebelumnya. Soeharto dan para pendukungnya mengklaim bahwa Orde Lama, di bawah kepemimpinan Soekarno, telah menyimpang dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, Orde Baru bertekad untuk meluruskan kembali arah bangsa sesuai dengan dasar negara.

Pada awal pemerintahannya, Orde Baru berhasil meraih beberapa keberhasilan, terutama dalam bidang ekonomi. Melalui kebijakan pembangunan yang terencana dan investasi asing yang masuk, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat pesat. Sektor pertanian juga mengalami kemajuan signifikan berkat program intensifikasi pertanian yang dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau.

Namun, di balik keberhasilan ekonomi tersebut, terdapat praktik-praktik yang problematik, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela. Selain itu, kebebasan politik dan sipil juga sangat dibatasi. Kritik terhadap pemerintah dibungkam, dan media massa dikontrol ketat. Organisasi-organisasi masyarakat yang dianggap subversif dilarang, dan aktivis-aktivis pro-demokrasi ditangkap dan dipenjara.

Pancasila sebagai Alat Legitimasi Kekuasaan

Pancasila menjadi fondasi ideologis utama bagi Orde Baru. Rezim Soeharto menggunakan Pancasila sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaannya dan menjustifikasi berbagai kebijakan yang diambil. Pancasila tidak hanya dianggap sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai ideologi yang harus dihayati dan diamalkan oleh seluruh warga negara.

Untuk memastikan bahwa Pancasila benar-benar dipahami dan diinternalisasi oleh masyarakat, pemerintah Orde Baru meluncurkan berbagai program indoktrinasi. Salah satu program yang paling terkenal adalah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Melalui P4, seluruh warga negara, mulai dari pelajar hingga pegawai negeri, wajib mengikuti pelatihan dan penataran tentang Pancasila.

P4 bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila ke dalam diri setiap individu. Namun, dalam praktiknya, P4 seringkali digunakan sebagai alat untuk memaksakan interpretasi tunggal tentang Pancasila. Pemerintah Orde Baru mengklaim bahwa interpretasi mereka tentang Pancasila adalah yang paling benar dan sesuai dengan semangat UUD 1945. Interpretasi-interpretasi lain yang berbeda dianggap sebagai penyimpangan dan ancaman terhadap stabilitas nasional.

Selain P4, pemerintah Orde Baru juga menggunakan berbagai cara lain untuk mempromosikan Pancasila. Pancasila dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan di semua tingkatan. Film-film dan acara televisi yang bertema Pancasila diproduksi secara massal. Bahkan, lagu-lagu dan puisi-puisi yang mengandung pesan-pesan Pancasila juga diciptakan dan dipopulerkan.

Melalui berbagai upaya tersebut, pemerintah Orde Baru berhasil menciptakan citra bahwa Pancasila adalah ideologi yang sakral dan tidak boleh diganggu gugat. Siapa pun yang berani mengkritik atau mempertanyakan Pancasila akan dicap sebagai anti-Pancasila, subversif, dan musuh negara.

Interpretasi Pancasila di era Orde Baru sangat berbeda dengan interpretasi yang berkembang di era sebelumnya. Soeharto dan para pendukungnya menekankan pada aspek stabilitas, persatuan, dan pembangunan ekonomi. Mereka menganggap bahwa nilai-nilai Pancasila harus diimplementasikan secara pragmatis dan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan nasional.

Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, diinterpretasikan sebagai pengakuan terhadap keberadaan Tuhan, tetapi dengan penekanan pada toleransi antarumat beragama. Pemerintah Orde Baru berusaha untuk menciptakan kerukunan antarumat beragama melalui berbagai program dialog dan kerjasama. Namun, pada saat yang sama, pemerintah juga melakukan intervensi terhadap kehidupan beragama, terutama terhadap kelompok-kelompok minoritas yang dianggap menyimpang.

Sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, diinterpretasikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, tetapi dengan batasan-batasan tertentu. Pemerintah Orde Baru mengklaim bahwa hak-hak asasi manusia harus diimbangi dengan kewajiban-kewajiban terhadap negara dan masyarakat. Kebebasan berekspresi dan berorganisasi dibatasi atas nama stabilitas nasional.

Sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, diinterpretasikan sebagai keharusan untuk menjaga keutuhan wilayah dan kesatuan bangsa. Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pada semangat nasionalisme dan patriotisme. Segala bentuk separatisme dan gerakan-gerakan yang dianggap mengancam persatuan bangsa ditindak tegas.

Sila keempat Pancasila, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, diinterpretasikan sebagai sistem demokrasi yang dipimpin oleh negara. Pemerintah Orde Baru menyelenggarakan pemilihan umum secara periodik, tetapi dengan sistem yang sangat terkontrol. Partai politik dibatasi jumlahnya dan diawasi secara ketat. Hasil pemilihan umum selalu dimenangkan oleh Golongan Karya (Golkar), partai politik yang menjadi kendaraan politik Soeharto.

Sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, diinterpretasikan sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Pemerintah Orde Baru meluncurkan berbagai program pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Namun, kesenjangan sosial dan ekonomi tetap menjadi masalah yang serius. Korupsi dan kolusi yang merajalela menyebabkan sebagian besar kekayaan negara hanya dinikmati oleh segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan.

Dampak Penerapan Pancasila di Orde Baru

Penerapan Pancasila di era Orde Baru memiliki dampak yang kompleks dan beragam. Di satu sisi, Pancasila berhasil menjadi alat untuk menjaga stabilitas politik dan memacu pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, Pancasila juga digunakan sebagai alat untuk menindas kebebasan sipil dan melanggengkan kekuasaan otoriter.

Salah satu dampak positif dari penerapan Pancasila di era Orde Baru adalah terciptanya stabilitas politik. Setelah mengalami gejolak politik yang panjang di era sebelumnya, Indonesia berhasil memasuki periode stabilitas yang relatif panjang di bawah kepemimpinan Soeharto. Stabilitas politik ini memungkinkan pemerintah untuk fokus pada pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Selain itu, penerapan Pancasila di era Orde Baru juga berdampak pada meningkatnya rasa nasionalisme dan persatuan bangsa. Melalui berbagai program indoktrinasi dan propaganda, pemerintah berhasil menanamkan semangat cinta tanah air dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Persatuan dan kesatuan bangsa dijaga dengan ketat, dan segala bentuk separatisme ditindak tegas.

Namun, di balik dampak positif tersebut, terdapat juga dampak negatif yang signifikan. Salah satu dampak negatif yang paling menonjol adalah pembatasan kebebasan sipil dan politik. Pemerintah Orde Baru menggunakan Pancasila sebagai alat untuk membenarkan tindakan represif terhadap kelompok-kelompok oposisi dan aktivis pro-demokrasi. Kebebasan berekspresi, berorganisasi, dan berkumpul dibatasi secara ketat.

Selain itu, penerapan Pancasila di era Orde Baru juga berdampak pada meningkatnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kekuasaan yang terpusat di tangan Soeharto dan kroni-kroninya membuka peluang bagi praktik-praktik KKN yang merajalela. Kekayaan negara dikuras habis untuk kepentingan pribadi dan kelompok, sementara rakyat kecil tetap hidup dalam kemiskinan.

Dampak negatif lainnya adalah terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin lebar. Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat pesat, namun sebagian besar kekayaan hanya dinikmati oleh segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin menganga, dan ketidakadilan sosial semakin terasa.

Kritik terhadap Penerapan Pancasila di Orde Baru

Penerapan Pancasila di era Orde Baru menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Para kritikus menilai bahwa rezim Soeharto telah menyalahgunakan Pancasila sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan menindas kebebasan sipil. Mereka juga mengkritik interpretasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru yang dianggap terlalu otoriter dan tidak sesuai dengan semangat demokrasi.

Salah satu kritik utama terhadap penerapan Pancasila di era Orde Baru adalah adanya indoktrinasi yang berlebihan. Program P4 dianggap sebagai alat untuk memaksakan interpretasi tunggal tentang Pancasila dan membungkam suara-suara kritis. Para kritikus menilai bahwa indoktrinasi Pancasila telah mereduksi Pancasila menjadi sekadar slogan-slogan kosong yang tidak memiliki makna yang mendalam.

Selain itu, para kritikus juga mengkritik praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela di era Orde Baru. Mereka menilai bahwa KKN telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekayaan negara dikuras habis untuk kepentingan pribadi dan kelompok, sementara rakyat kecil tetap hidup dalam kemiskinan.

Para kritikus juga menyoroti pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di era Orde Baru. Mereka mencatat bahwa banyak aktivis pro-demokrasi, jurnalis, dan mahasiswa yang ditangkap, dipenjara, bahkan dihilangkan secara paksa. Kebebasan berekspresi dan berorganisasi dibatasi secara ketat, dan media massa dikontrol oleh pemerintah.

Kritik terhadap penerapan Pancasila di era Orde Baru semakin menguat pada akhir tahun 1990-an, ketika krisis ekonomi melanda Indonesia. Krisis ekonomi ini memicu gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang menuntut reformasi politik dan ekonomi. Akhirnya, pada tahun 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden, mengakhiri era Orde Baru yang telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade.

Pancasila Pasca-Orde Baru

Setelah Orde Baru tumbang, muncul harapan baru untuk mengembalikan Pancasila ke khittahnya sebagai dasar negara yang inklusif dan demokratis. Era Reformasi membuka ruang bagi berbagai interpretasi tentang Pancasila dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam merumuskan arah bangsa.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk merevitalisasi Pancasila adalah dengan menghapus program P4 dan menggantinya dengan program-program pendidikan yang lebih partisipatif dan dialogis. Pancasila tidak lagi dianggap sebagai dogma yang harus dihafalkan, tetapi sebagai nilai-nilai yang harus dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, era Reformasi juga memberikan ruang bagi kebebasan berekspresi dan berorganisasi. Masyarakat bebas untuk mengkritik pemerintah dan menyampaikan aspirasi mereka tanpa takut ditangkap atau dipenjara. Media massa juga lebih bebas dalam memberitakan informasi dan mengawasi jalannya pemerintahan.

Namun, upaya untuk merevitalisasi Pancasila pasca-Orde Baru tidak selalu berjalan mulus. Tantangan-tantangan baru muncul, seperti meningkatnya intoleransi, radikalisme, dan separatisme. Kelompok-kelompok ekstremis berusaha untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain yang dianggap lebih sesuai dengan keyakinan mereka.

Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen bangsa untuk terus menjaga dan melestarikan Pancasila sebagai dasar negara yang inklusif dan demokratis. Pancasila harus dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, serta dijadikan sebagai pedoman dalam membangun bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera.

Kesimpulan

Penerapan Pancasila di era Orde Baru merupakan babak penting dalam sejarah Indonesia. Meskipun Pancasila berhasil menjadi alat untuk menjaga stabilitas politik dan memacu pertumbuhan ekonomi, namun Pancasila juga digunakan sebagai alat untuk menindas kebebasan sipil dan melanggengkan kekuasaan otoriter. Interpretasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dianggap terlalu otoriter dan tidak sesuai dengan semangat demokrasi.

Setelah Orde Baru tumbang, muncul harapan baru untuk mengembalikan Pancasila ke khittahnya sebagai dasar negara yang inklusif dan demokratis. Era Reformasi membuka ruang bagi berbagai interpretasi tentang Pancasila dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam merumuskan arah bangsa. Namun, tantangan-tantangan baru juga muncul, seperti meningkatnya intoleransi, radikalisme, dan separatisme.

Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen bangsa untuk terus menjaga dan melestarikan Pancasila sebagai dasar negara yang inklusif dan demokratis. Pancasila harus dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, serta dijadikan sebagai pedoman dalam membangun bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera.

Memahami sejarah penerapan Pancasila di era Orde Baru memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Kita harus belajar dari kesalahan masa lalu dan berupaya untuk membangun masa depan yang lebih baik berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang sejati.

Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/humaniora/762011/penerapan-pancasila-di-orde-baru-sejarah-dan-dampaknya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *