Koranriau.co.id-

SETIAP kali merayakan Paskah, umat Allah mengenang misteri wafat dan kebangkitan Kristus. Ini merupakan perayaan solidaritas Allah. Dengan merangkul salib, Allah memosisikan diri-Nya sebagai Tuhan yang berpihak pada korban (Budi Kleden, 2006:319).
Bagi-Nya, luka kemanusiaan korban perlu dipulihkan. Situasi kemiskinan dan ketidakadilan perlu digugat melalui luka-luka penyaliban. Karena itu, salib adalah perayaan radikalitas kasih Tuhan. Sebab melalui tindakan konkret, Ia berbela rasa terhadap manusia dan mengambil bagian dalam penderitaan korban.
Kemiskinan: gambaran keterlukaan dunia
Di tengah kenangan akan peristiwa salib, Indonesia masih dililit masalah kemiskinan. Dalam laporan Media Indonesia bertajuk Tingkat Kemiskinan di Indonesia dan Dunia: Tantangan dan Upaya Mengatasinya disebutkan bahwa pada tahun 2023 tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 9,36% dari total penduduk yang berjumlah lebih dari 270 juta jiwa. Persentase ini menunjukkan, bahwa Indonesia masih dihuni oleh jutaan orang yang hidup dalam kemiskinan (Media Indonesia, 17 Oktober 2024).
Problem kemiskinan ini terjadi akibat struktur sosial-politik yang tidak adil. Dalam kondisi seperti ini, ketimpangan sosial semakin nyata. Orang miskin kesulitan mengakses sumber daya, karena kekuasaan ekonomi-politik hanya diperuntukkan bagi para elite (Selo Soemardjan, 1980).
Dalam struktur sosial seperti ini, para elite melakukan megakorupsi. Menurut kajian Transparency International Indonesia, pada tahun 2024 Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia naik menjadi 37/100 dari sebelumnya 34/100. Skor ini menempatkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia di peringkat ke-99 dari 180 negara (Media Indonesia, 11 Februari 2025).
Data ini selaras dengan deretan kasus korupsi besar, antara lain: korupsi PT Timah sebesar Rp271 triliun, korupsi BLBI sebesar Rp138,4 triliun, korupsi Pertamina sebesar Rp968 triliun, korupsi PT Jiwasraya sebesar Rp16,8 triliun, korupsi PT Asabri sebesar Rp22,7 Triliun, dan lain sebagainya.
Masalah mega-korupsi dalam struktur sosial-politik seperti ini, membuka ruang bagi perampasan hak-hak orang miskin secara sewenang-wenang. Dana yang diperuntukan bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat malah menjadi ajang perebutan kekuasaan oleh para elite (Djelantik, 2008:27). Akibatnya, masyarakat miskin sulit untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Dalam struktur sosial-politik yang korup ini, kemiskinan menjadi siklus yang terus berulang dan sulit diputus.
Tuhan menolak kemiskinan
Berhadapan dengan realitas kemiskinan, Tuhan menunjukkan sikap yang tegas. Menurut Gustavo Gutierrez, hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa kemiskinan merupakan situasi hidup yang tidak manusiawi. Dunia orang miskin adalah realitas yang kejam. Ketertindasan yang dialami menyebabkan mereka mengalami kesengsaraan dan kematian perlahan. Karena itu, Tuhan menunjukkan sikap penolakan. Sebab kemiskinan berseberangan dengan kehendak Sang Pencipta yang menginginkan semua orang hidup adil dan bermartabat (Gutierrez,1973:xxii).
Berhadapan dengan kemalangan orang miskin, Allah menunjukkan solidaritas-Nya melalui karya penyaliban. Menurut Jon Sobrino penyaliban Allah membahasakan konsekuensi inkarnasi yang berempati kepada korban (Kirchberger, 2015:26). Demi menyelamatkan korban, Ia hadir secara konkret dalam sejarah manusia.
Karena itu, salib adalah bahasa bela rasa Allah. Ia memosisikan diri-Nya di tengah korban. Ia mau terluka demi memulihkan ketidakadilan dunia. Dalam peristiwa salib, Ia rela merendahkan diri agar dunia bebas dari struktur sosial yang melanggengkan kemiskinan dan melegitimasi kekuasaan.
Politik pemberdayaan
Solidaritas Tuhan dalam peristiwa Salib merupakan undangan berharga bagi dunia. Di tengah situasi bangsa Indonesia yang masih dililit problem sosial, Tuhan mendorong setiap orang agar berpihak kepada kaum miskin (option for the poor). Ini adalah undangan Paskah Tuhan. Di ujung peristiwa Salib, Paskah memberi pesan kebangkitan agar dunia menempatkan kaum miskin sebagai prioritas pembangunan.
Di level kebijakan, keberpihakan ini diterjemahkan dalam skema politik pemberdayaan. Negara perlu menempatkan rakyat kecil sebagai pusat pembangunan. Kekuasaan dan sumber daya harus didistribusikan secara adil dan menyentuh akar rumput (Kolimon, 2022:6).
Politik pemberdayaan ini mesti dibarengi dengan penegakan hukum yang berpihak kepada keadilan. Koruptor mesti diberi sanksi yang tegas, sehingga hukum tidak menjadi alat kekuasaan, tetapi pelindung hak-hak orang kecil.
Selain itu, solidaritas terhadap kaum miskin mesti menjadi misi kolektif lintas iman. Di tengah pluralitas, semua agama terpanggil untuk membela kemanusiaan dan menentang kebijakan yang menindas. Solidaritas mesti dihidupi dengan mengkritisi kebijakan sosial-politik yang merugikan hak-hak orang kecil.
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/opini/761604/paskah-ketimpangan-dan-politik-pemberdayaan