Nasional

Kekerasan Seksual di Dunia Kedokteran, Institusi Wajib Bertindak

Koranriau.co.id-

Kekerasan Seksual di Dunia Kedokteran, Institusi Wajib Bertindak
MSF, 33, dokter kandungan, telah menjadi tersangka pelecehan seksual terhadap pasien.(MI/Kristiadi)

VIRAL beberapa aksi kekerasan seksual terjadi di dunia kedokteran, termasuk yang dilakukan oleh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Menyikapi hal tersebut, Direktur Rumah Sakit Akademi (RSA) UGM, Darwito menilai kalau kekerasan seksual terjadi dalam proses pendidikan di rumah sakit, institusi rumah sakit bisa memberi sanksi, seperti sanksi akademik dan mengeluarkannya.

“Institusi wajib bertindak jika TKP (tempat kejadian perkara)-nya di sini. Tapi kalau di luar dan di luar jam pendidikan, itu bukan wewenang rumah sakit, (tetapi sepenuhnya negara lewat penegakan hukum)” tegasnya dalam siaran pers dari Humas UGM, Jumat (18/4).

Walau tidak terjadi di RSA UGM, adanya kasus kekerasan seksual yang muncul belakangan ini menjadi momen penting bagi RSA UGM untuk memperkuat sistem pendidikan yang tidak hanya menghasilkan dokter yang kompeten, tetapi juga bermartabat.

Darwito menyampaikan bahwa institusinya berkomitmen untuk terus menegakkan tiga koridor penting, yakni etika, norma, dan hukum. Dengan sistem pengawasan berlapis dan kehadiran para pendidik yang menjadi panutan, RSA UGM terus membangun ruang belajar yang aman dan bermakna. Kepercayaan publik terhadap dunia medis hanya bisa dijaga jika institusi pendidikan juga konsisten menjaga nilai-nilai etik dan kemanusiaan.

“Etika dan norma kita jaga lewat SOP dan teladan. Kalau hukum ya kita serahkan pada aparat. Yang jelas, pendidikan harus menanamkan nilai-nilai itu sejak awal,” pungkasnya.

Tanggung Jawab Sebagai rumah sakit pendidikan, Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada (RSA UGM) menyadari tanggung jawab besar dalam membentuk tenaga medis yang tidak hanya unggul secara klinis, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan profesionalisme. Proses seleksi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di institusinya tidak hanya mengukur aspek akademik tetapi juga integritas kepribadian.

“Seleksi itu tidak berhenti pada nilai akademik. Setelah ujian keilmuan, ada juga tes psikologi seperti Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) dan wawancara yang bertujuan menggali karakter,” tegasnya.

Pada awal masa pendidikan, peserta PPDS dibekali kuliah umum yang salah satu topiknya adalah etika kedokteran. Materi ini bertujuan memberikan landasan awal tentang prinsip-prinsip moral yang harus dipegang oleh calon dokter spesialis dalam menjalankan profesinya.

“Etika bukan hanya menjadi pembelajaran sesaat yang selesai begitu kuliah usai. Justru nilai-nilai etis harus terus ditanamkan, dilatih, dan dijalankan sepanjang masa pendidikan klinis,” ungkap dia.

Dalam dunia medis yang kompleks dan penuh tekanan, sikap etis tidak bisa lahir secara instan, melainkan perlu dibentuk melalui proses panjang, interaksi nyata dengan pasien, serta pembimbingan dari para pendidik yang konsisten memberi teladan.

“Ini adalah proses long life learning,” ujarnya.

Ia menegaskan, pendidikan etika harus menjadi bagian yang menyatu dalam keseharian residen, dari awal hingga akhir masa studi, bahkan hingga mereka nantinya menjalani praktik mandiri sebagai dokter spesialis. Dalam hal ini, peran dosen dan dokter penanggung jawab pasien (DPJP) menjadi sangat penting sebagai pembimbing sekaligus teladan.

Dalam praktiknya, RSA UGM menerapkan sistem pendidikan berjenjang dengan supervisi ketat. Para residen menjalani tahapan merah, kuning, dan hijau, mulai dari tahap observasi hingga mandiri dengan pengawasan dari DPJP di setiap tahapannya.

Evaluasi terhadap aspek etik dan komunikasi juga dilakukan oleh DPJP sebagai penilai utama performa residen.

“Tahap merah belum boleh memegang pasien. Kuning boleh tapi masih dibimbing. Hijau baru bisa mandiri. Semua tetap dalam pengawasan DPJP,” jelas Dr. Darwito.

Materi mengenai kekerasan seksual, bullying, dan penyalahgunaan wewenang telah disisipkan dalam sesi awal pendidikan.

“Semua residen di sini menandatangani kontrak bahwa mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang. Kalau melanggar, ya dikembalikan ke fakultas,” ujarnya.

Langkah-langkah preventif juga terus dilakukan sebagai upaya menciptakan ruang pendidikan dan layanan kesehatan yang aman bagi semua pihak, baik pasien maupun tenaga medis.

RSA UGM telah memasang kamera pengawas (CCTV) di berbagai titik strategis dalam lingkungan rumah sakit untuk memastikan seluruh aktivitas terekam dan dapat diawasi dengan baik. Kehadiran sistem pemantauan ini menjadi instrumen penting dalam mencegah potensi pelanggaran dan memastikan transparansi dalam interaksi yang terjadi di lingkungan rumah sakit.

Selain itu, RSA juga menerapkan pengaturan sistem jaga yang memisahkan residen laki-laki dan perempuan guna meminimalkan potensi kerentanan dan menjaga kenyamanan seluruh peserta didik.

“Kami usahakan tidak ada pencampuran shift jaga antara laki-laki dan perempuan. Semua kegiatan pendidikan dipantau oleh DPJP,” tutup Darwito. (AT/E-4)

Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/nusantara/761538/kekerasan-seksual-di-dunia-kedokteran-institusi-wajib-bertindak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *