Koranriau.co.id-

KOKOK ayam jantan di belakang rumah membangunkan Ain dari tempat tidurnya, sekitar pukul 5.00 di pagi itu di sebuah dusun di Desa Tengatiba, Kabupaten Nagekeo, NTT. Gelap masih menghimpit berpadu dengan langit yang sudah mulai terang dengan pendar bintang yang masih berkilau.
Gadis kecil itu lantas keluar bergegas mengambil tempat sabun dan menuju dapur. Ia lalu mengambil sebuah jerigen 5 liter di dekat tungku lalu keluar lewat pintu dapur menuju depan rumah. Bunyi dentuman terdengar dari lututnya yang beradu dengan sisi jeriken ketika ia berjalan. Tak berselang beberapa kawan seumurannya pun keluar dengan jerigen. Bunyi dentuman jeriken yang bersambut seakan tanda bahwa mereka harus segera keluar kampung menuju mata air di luar kampung.
Butuh sekitar 20 menit dengan jalan terjal menurun untuk sampai ke mata air Tu Dhanga. Sedikit berlari mereka berusaha agar cepat sampai di mata air itu. Setapak kecil terlihat samar-samar namun kaki lincah Ain seakan berlari kecil menuruni tebing terjal berbatu.
Ain terhentak kaget ketika seorang kawannya tangannya menumbuk belakang Ain dengan keras. Kawannya harus menahan tangannya di punggung belakang Ain agar tidak terjatuh akibat terantuk pada sebuah batu ketika menuruni jalan setapak itu. Beruntung kaki Ain yang kuat bisa menahan beban dari belakangnya sehingga ia tidak terjatuh juga.
Di bawah rimbunan pohon-pohon bambu ini Ain bersama kawan-kawannya sekitar lima orang mulai menimba air dengan jeriken yang mereka bawa, pada sebuah belahan bambu yang mengalirkan air dari sebuah mata air di sisi sungai kecil itu. Debit air yang kecil membuat mereka harus bersabar. Satu demi satu jeriken akhirnya penuh. Ain yang jerikennya terlebih dahulu penuh mulai mendekati kolam kecil dekat mata air untuk mandi. Beberapa kawannya pun lalu mandi setelah semua jeriken yang mereka bawah terisi penuh.
“Di mata air ini kami setiap pagi dan sore pergi ambil air untuk bantu mama. Kami harus mandi di sini sebelum ke sekolah, air yang kami ambil untuk masak dan minum di rumah,” kata Ain siswi kelas 3 SD ditemani ibunya sambil mengisahkan kejadian 6 tahun lalu ketika ditemui penulis, Senin (7/4).
Ain menceritakan, ia dan teman sebayanya harus rela terlambat ke sekolah ketika tidak ada air di kampung mereka. Tak ayal ia dan teman-temannya kerap dimarahi para guru karena keseringan terlambat ke sekolah.
Tak hanya itu hampir tidak ada waktu bermain buat ia dan kawan-kawannya. Waktu bermain hanya dilakukan di sekolah ketika jam istirahat. Karena sore ketika pulang sekolah ia serta teman-teman sekampungnya harus segera pulang lalu makan serta bersistirahat sebentar kemudian kembali turun ke mata air untuk mengambil air dengan jeriken 5 liter sekitar pukul 3.00 sore.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Osin siswi kelas 5 SD kakak kelas Ain. Setiap pagi dan sore hari ia juga harus menuju mata air untuk mengambil air demi membantu ibunya. Aktivitas ini selalu terjadi dalam setiap musim kemarau ataupun musim hujan ketika tidak ada lagi persedian air di rumah mereka. Sangat sedikit waktu yang digunakan untuk bisa bermain bersama teman sebayanya. Sejak pukul 3.00 sore ia harus segera ke mata air agar bisa mengambil air dengan cepat karena bila tidak maka akan mengantri lebih lama untuk bisa menunggu, agar jeriken 5 liternya bisa terisi penuh.
“Kalau terlambat maka bisa pulang malam. Bisa-bisa capek apalagi jalan naik dari bawah, kalo capek PR tidak bisa kerja,” ungkap Osin di samping ibunya mengisahkan aktivitasnya ketika masih duduk di kelas 1 SD pada empat tahun lalu.
Perang Mulut karena Sejeriken Air
Paulina Seko (36) ibu dari Ain yang ditemui penulis masih teringat ia harus bertengkar dengan suaminya akibat kesal karena suaminya tidak segera mengambil air. Padahal ia masih sibuk untuk mengurus anak-anak serta memasak di dapur. Sudah 15 tahun Paulina tinggal di kampung Dadhowawo semenjak pindah mengikuti suaminya dari kampung asalnya Sule di Kecamatan Mauponggo, Nagekeo yang kaya akan air.
“Di kampung asal saya, karena dekat pegunungan, air gampang. Buka keran pasang selang air langsung masuk dapur. Di sini mau tidak mau jalan 20 menit ke mata air. Namun mau bagaimana namanya jodoh biar air jauh maka kita akan tempuh, biar jurang jalan ambil air,” ungkap ibu muda 5 anak ini.
Paulina mengungkapkan keadaan di kampung ini 5 tahun lalu sangat berbeda dengan sekarang ketika ada sumber air sudah masuk di kampung mereka. Mereka harus turun ke mata air sejak pukul 5.00 pagi dan jam 3.00 sore membawa 3 jeriken. Mereka harus menuruni tebing terjal untuk mengambil air. Rasa lelah harus dilawan demi sejerigen air.
Mereka terpaksa harus rela antri berjam-jam hingga malam menjelang bila sore hari terlambat ke mata air karena ratusan warga lain di kampung sudah menunggu hanya untuk mengantri air di mata air Tu Dhanga. Beberapa kali ia harus perang mulut dengan beberapa ibu lain karena menyerobot masuk dalam antrian karena takut anaknya di rumah menangis.
Paulina juga mengungkapkan mengambil air di mata air penuh resiko bukan hanya terjadi pada musim kemarau namun juga terjadi pada musim hujan ketika persedian air di tempat penampungan sudah mulai habis. “Dulu kalau musim hujan kami juga pasti ambil air di mata air karena kalau dalam seminggu 2 sampai 3 hari tidak hujan, air di rumah sudah habis maka mau tidak mau turun ambil air,” ungkapnya.
Paulina mengisahkan, setiap pagi dan sore anak-anaknya juga pergi mengambil air. Kadang dalam keadaan gelap gulita ia bersama anak-anak juga turun ke tempat mata air. Seisi kampung juga mengambil air dari mata air Tu Dhanga yang dekat kampung. Aktivitas mengambil air mulai dilakukan dari Mei ketika tidak ada lagi hujan mengguyur wilayah desa mereka hingga Desember.
“Kadang saya kasihan juga anak-anak ini bantu pergi ambil air namun mau bagaimana lagi kalau tidak bantu mereka tidak makan, air tidak ada,” keluh Paulina.
Menurut Paulina kebutuhan air paling banyak di rumah digunakan kaum perempuan dan anak sehingga ini seakan menjadi resiko yang harus ditanggung kaum perempuan untuk kebutuhan masak dan minum. Bagi Paulina dalam rumahnya yang dihuni 10 orang termasuk kedua mertuanya yang telah renta membuat ia dan suami harus bekerja sama dalam membantu untuk mengambil air.
“Seminggu pasti ada konflik antarkami ibu-ibu. Kalau datang ke mata air kemudian ada yang datang kemudian lalu tadah duluan itu yang ribut,” kata Paulina.
Keadaan yang sama juga diungkapkan Maria Magdalena Dhema alias Marlen (37) ibu dari Osin ini. Ia mengisahkan harus membawa jeriken dengan dua di masing-masing tangannya dan satu di atas kepalanya pada setiap pagi dan sore untuk mengambil air di Tu Dhanga. Sumber air dengan jalan yang terjal dan curam hingga membuat Marlen sering terjatuh karena terantuk.
“Pernah luka pas jatuh di menurun hingga terkilir (keseleo). Tapi itu hal biasa jalan lagi kalo tidak mau paksa air dari mana,” ungkap Marlen ibu 3 anak ini.
Berbeda dari Paulina, kesulitan air bagi Marlen sudah dirasakan sejak kecil selama 26 tahun karena ia dilahirkan di kampung tersebut dan mempunyai suami dari kampung yang sama. Sehingga semenjak ia berumur 6 tahun ia juga harus turun ke mata air Tu Dhanga untuk mengambil air membantu orang tuanya.
Butuh waktu 2-3 jam hanya sekadar menunggu agar jeriken bisa terisi penuh karena banyaknya warga yang juga mengantri untuk mengambil air. Mata air yang terlampau kecil membuat Marlen harus menunggu. Selain itu menurut Marlen kadang karena kecapaian mengantre air, kebersihan dalam rumah terabaikan.
“Kalau air sudah tidak ada, capek pergi ambil air tidak ada air di kamar wc kalau rasa buang air besar terpaksa di hutan,” ungkap Marlen menujuk ke bagian belakang rumah perkampungan warga yang masih banyak pohon-pohon.
Harapan Air Terjawab
Severinus Buu (32) alias Sevrin tampak ceria ketika ditemui penulis di kampung Dadhowawo. Rambut dan wajahnya masih kelihatan segar setelah baru habis mandi selepas pulang dari kebun. Bercelana panjang dan berkaus oblong berwarna abu-abu dengan senyuman yang terus keluar, Sevrin menceritakan kebahagiaanya akibat air sudah dekat di kampung mereka.
Ia dan keluarganya tidak perlu lagi harus pergi ke mata air yang Tu Dhanga hanya untuk sejeriken air 5 liter. “Dulu sebelum air masuk kampung, mana mungkin terima tamu masih mandi dulu, kotor. Kalau sekarang mandi dulu, ganti baju bisa sambut tamu. Apalagi saya kepala dusun di sini,” ungkap Sevrin sambil tertawa.
Sevrin mengisahkan harapan mulai muncul ketika ia mulai bertemu dengan beberapa orang dari Yayasan Plan Indonesia dan memberitahukan keadaan yang terjadi pada anak-anak dan perempuan di kampung Dadhowawo.
Gayung pun bersambut ketika di Plan Nagekeo sendiri memfokuskan program kegiatannya pada perempuan dan anak. Pihak yayasan mulai membantu warga kampung dengan mendekatkan air kampung dengan pompa air.
Menurut Sevrin, mata air yang selama ini dipakai warga masih terlampau kecil debitnya sehingga dengan bantuan Plan Indonesia bisa diambil dari mata air Pela-Aekoe di dekat bantaran Sungai Aesesa yang jaraknya sekitar 2 km dari Kampung Dadhowawo.
Topografi kampung yang berada lebih tinggi dari sungai dan permukaan air membuat air harus dipompa atau disedot dengan menggunakan pompa berkekuatan tinggi agar bisa melayani 202 kepala keluarga dengan 613 jiwa yang tinggal di Kampung Dadhowawo.
Sevrin mengungkapkan bantuan air ini seperti permata buat warga kampung yang selama ini merindukan air. Tidak pernah tebersit dalam pikiran mereka bahwa air bisa sampai ke kampung mereka dengan bantuan teknologi pompa bertenaga listrik seperti yang diterapkan ini. “Kami swadaya sendiri gotong royong untuk kerja ini bak resevoir atau penampung air dengan dana dari bantuan Plan,” kata Sevrin.
Dengan semangat tinggi warga berpartisipasi bersama pihak yayasan bahu membahu mulai membangun bak penampung pada 2019 hingga menanamkan pipa untuk distribusi air ke kampung mereka. Satu bak reservoir penampung dibangun dekat sumber mata air lalu satu bak lagi dekat kampung agar air bisa dekat ke rumah warga.
Selain bak penampung sekitar 14 hidran umum atau keran-keran penyalur dengan tanki air terpasang di tengah kampung sehinga beberapa rumah bisa menggunakan secara bersama untuk satu keran atau hidran umum tersebut.
Menurut Sevrin, ketika memasuki musim kemarau mereka membagi jadwal untuk pembukaan air. Untuk setiap pagi dilakukan distribusi ke 7 hidran atau keran dengan bak penampung begitupun sorenya untuk 7 hidran tersisa. Selain itu air yang ada juga didistribusikan ke bak penampung di sekolah SD dan SMP dekat kampung demi membantu anak-anak agar tidak perlu lagi membawa jerigen berisi air setiap pergi sekolah. “Kalau sekarang anak-anak sudah santai tidak berat lagi, harus pikul jeriken 5 liter penuh air ke sekolah,” terang Sevrin.
Perubahan drastis
Kampung terasa ramai ketika penulis menyambangi Kampung Dadhowawo di Desa Tengatiba. Topografi kampung berada di punggung lembah dengan dasar lembah lekukan Sungai Aesesa yang terus mengalir hingga ke kota Mbay. Butuh waktu sekitar 30 menit dari Kota Mbay ke kampung ini dengan jalanan rabat beton yang cukup menukik dari jalan utama. Kampung ini seakan tersembunyi dengan pepohonan yang masih rimbun menjulang serta batu-batu besar menonjol bergelantungan ke arah lembah dari puncak pegunungan seakan siap menggelinding.
Kini sudah 5 tahun, warga di Kampung Dadhowawo bisa menikmati air bersih berkat bantuan Yayasan Plan Indonesia. Sore ketika pukul 4.00 ketika matahari masih menunjukkan teriknya, lapangan sepak bola kecil di komplek sekolah tampak ramai. Anak-anak laki-laki berlari dengan riang mengejar bola. Beberapa anak perempuan juga tampak berlari sampil melompat pada garis-garis yang telah mereka buat di tanah.
“Sekarang air sudah masuk jadi kami bisa main sampai sore tidak pikir lagi untuk pergi timba air, pulang bisa mandi dan belajar tidak capek lagi karena tidak ambil air di mata air,” ungkap Ain dan Osin.
Paulina mengaku kini punya banyak waktu untuk mengurus rumah tangga, dan bisa ada waktu buat istirahat. Kebutuhan air bisa langsung diambil di depan rumahnya karena lokasi salah satu hidran umum tepat di depan rumahnya. Segala kebutuhan untuk mencuci masak dan minum bisa diambil langsung dari hidran umum di depan rumahnya. Ia tidak khawatir lagi bakal kehabisan air karena air selalu tersedia setiap saat.
“Dulu kami pakai air masih rasa-rasa, takut habis tapi sekarang kami bisa pakai sebebasnya untuk kebutuhan dalam rumah. Aak-anak bisa terjamin kebersihannya,” ungkapnya.
Marlen juga mengungkapkan rasa senang dan bahagianya ketika air masuk ke kampung mereka karena banyak perubahan yang terjadi. Dulu ketika air belum masuk, kampung terasa sepi ketika sore dan pagi, yang tersisa di kampung hanya para kakek dan nenek. Waktu istirahat sangat sedkit begitupun waktu untuk di kebun serta menenun. “Dulu waktu istirahat hampir tidak ada. Setiap hari hanya urus pergi ambil air, ” kata Marlen.
Marlen kini punya banyak waktu menenun pada setiap pagi setelah mengurus anak ke sekolah serta memasak. Ia sudah bisa meluangkan waktu lebih banyak untuk menenun. Marlen mengaku, kini dalam sebulan ia bisa menghasilkan dua kain tenun yang nantinya akan dijual ke pasar mingguan di Kota Mbay pada setiap hari Sabtu seharga Rp500-700 ribu.
Padahal sebelum air sampai ke kampung mereka butuh waktu paling cepat satu bulan lebih untuk menghasilkan sebuah sarung tenunan adat. Bahkan bisa mencapai dua bulan karena banyak kesibukan serta kondisi tubuh yang telah lelah akibat mengambil air.
Selain itu menurut Marlen untuk kebersihan menjadi lebih terjamin, sehingga sejumlah kakus atau kamar wc bisa selalu digunakan karena air tersedia. Selain itu para anak perempuan sudah bisa lebih bersih. “Sekarang anak perempuan sudah lebih bersih, BAB sudah pada tempatnya,” ungkap Marlen dengan senyum sumringah di dampingi putrinya Osin.
Sevrin juga menunjukkan beberapa rumah yang mulai memelihara ternak berupa babi atau sapi menjadi lebih banyak di belakang rumah karena air terjamin. Sebelum ada air warga enggan memelihara ternak dekat rumah mereka dan lebih memilih melepaskannya di kebun yang dekat bantaran sungai atau dilepasliarkan agar ternak mencari air sendiri.
Sevrin menambahkan komunikasi dalam keluarga menjadi lebih banyak karena banyak waktu berkumpul serta banyak waktu untuk istirahat ketika pulang dari kebun. Waktu untuk berkebun juga menjadi lebih banyak dan tidak buru-buru pulang ke rumah hanya untuk pergi mengambil air di mata air Tu Dhanga. Segala kegiatan hajatan di kampung lebih mudah dibuat.
“Sekarang ini kalau ada hajatan atau acara adat seperti tau nuwa cukup kasih keluar 250 ribu untuk bayar listrik pakai pompa air. Kalau dulu butuh 20 tangki air dengan satu tangki 600 ribu,” ungkap Sevrin.
Hak Anak Terpenuhi
Sebagai kepala dusun yang mewakili pemerintah desa Sevrin mengungkapkan rasa senangnya dan bahagianya akhirnya masyarakat di kampungnya bisa mendapatkan air dengan bantuan Plan Indonesia. Sungguh tak disangka seperti sebuah mukjizat hingga air bisa naik ke kampungnya.
Wilayahnya yang luas membuat sebagian dusun seperti kampungnya agak minim sentuhan pemerintah. Saat ini ia dan masyarakat desanya sedang melakukan persiapan untuk pemekaran wilayah menjadi sebuah desa yang berdiri sendiri.
Ia masih berharap ada bantuan lanjutan dari pihak manapun karena warganya masih membutuhkan bantuan untuk tempat penampungan air hujan. Saat ini baru ada 41 unit tempat penampung air hujan dari kebutuhan 158 unit di Kampung Dadhowawo.
Menurut manager Plan Indonesia area Nagekeo, Cosmas Damianus, di dusun Dadhowawo, Plan mensponsori 108 anak dampingan dengan perempuan ada 49 anak dan laki-laki 59 anak. Selama ini Plan bekerja dengan anak-anak dan anak perempuan untuk membantu menciptakan lingkungan yang setara bagi semua orang.
Dukungan Plan melalui program dan kegiatannya bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan kehidupan sehari-hari bagi anak perempuan melainkan juga untuk memajukan posisi dan martabat mereka di masyarakat, sambil secara aktif bekerja dengan anak laki-laki dan pemuda untuk memperjuangkan kesetaraan jender.
Selain itu, menurut Cosmas, Dusun Dadhowawo adalah wilayah remote dengan akses yang sulit dan torpografi yang menantang. Anak dan perempuan dalam budaya masyarakat setempat yang patriarki kurang mendapat kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, berpartisipasi dan menyampaikan pendapat secara lebih baik dan bermakna.
“Plan hadir sebagai bagian kecil dari kemitraan bersama pemerintah untuk membantu anak-anak, kaum muda khususnya anak perempuan agar bisa menjadi berdaya dan setara,” ungkap Cosmas.
Cosmas menambahkan karena ketersedian air bersih anak-anak di desa bisa lebih fokus dan punya waktu yang cukup untuk belajar dan bermain. Anak-anak terlindungi dari resiko kekerasan karena harus mengambil air di tempat yang tidak aman.
Pekerjaan domestik yang banyak menyita waktu anak-anak perempuan mulai berkurang sehingga mereka bisa mengikuti kegiatan lain yang produktif dan mengembangkan keterampilan hidup mereka. Selain itu mereka sudah tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli air sehingga bisa digunakan untuk kebutuhan lainnya seperti keperluan rumah tangga dan uang sekolah.
“Hak atas kesehatan reproduksi anak-anak, kebersihan diri, kebersihan menstruasi bagi anak-anak dan remaja perempuan semakin terpenuhi, ” pungkas Cosmin sapaan akrab Cosmas ini.
Sedikit berkeringat setelah pulang bermain bersama kawan sebayanya, Ain terlihat singgah sebentar di tangki atau hidran umum depan rumahnya. Ia mulai membuka keran sehingga air meluncur deras. Dengan cekatan ia membuka telapak tangannya menadah dan menyiramkan ke wajahnya. Temannya yang lain mengikutinya.
Riuh tawa terdengar hingga ke belakang rumah diikuti sahutan atau teriakan babi-babi yang menunggu untuk diberi makan pemiliknya. Rona jingga terlihat di awan seiring sang surya mulai masuk ke peraduan di balik barisan pegunungan indah di barat kampung. Beberapa lampu teras mulai menyala. Pintu depan rumah mulai tertutup memanggil syahdunya malam diiringi bunyi jangkrik. Dari kejauhan lewat celah jendela Osin duduk sambil membuka buku mulai membacanya. (E-2)
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/nusantara/758709/jeriken-air-buat-perempuan-dan-anak-di-kampung-dadhowawo