Koranriau.co.id-

DI era digital, hampir setiap orang mudah menjangkau sosial media untuk beragam tujuan. Media sosial tepat dimanfaatkan sebagai ajang aktualisasi diri, membuka akses langsung ke ruang publik, bahkan memudahkan meraih popularitas. Dunia keartisan dan pesohor jelas memanfaatkan media sosial sebagai platform public engagement. Sebaliknya, para penggemar artis atau selebriti memanfaatkan media sosial untuk meneropong dan mengamati secara lekat kehidupan pribadi dan kinerja pujaannya. Kekuatan media sosial di dunia maya ini lantas munculkan fenomena cancel culture.
Secara umum, cancel culture merupakan praktik di mana netizen secara kolektif memboikot, menolak, atau menghentikan dukungan terhadap orang atau kelompok tertentu. Cancel culture dilakukan sebagai reaksi atas tindakan atau pernyataan publik figur yang dianggap tidak pantas atau kontroversial oleh netizen. Cepatnya informasi beredar di media sosial seperti X, Instagram, dan Tiktok mempermudah terbentuknya opini publik. Tidak jarang cancel culture berujung fatal, seperti rusaknya reputasi hingga hilangnya pekerjaan pihak yang menjadi sasaran cancel culture.
Cancel Culture di Korea Selatan: Tekanan Budaya dan Moral
Salah satu negara dengan cancel culture yang kuat yakni Korea Selatan. Di Negara Ginseng ini, netizen sangat reaktif, cepat, dan tajam dalam mereaksi suatu hal berkaitan dengan publik figur. Cancel culture di Korea Selatan menjadi fenomena besar, terutama di industri hiburan. Netizen Korea Selatan berperan dominan dalam menyetir opini terhadap selebriti, seakan-akan hidup para pesohor itu berada di tangan netizen.
Di Korea Selatan, cancel culture bisa sampai berdampak dikuranginya scene dalam suatu drama, berkurangnya followers secara drastis, kehilangan peran, hingga boikot. Pemeran utama drama seri TV Nevertheless yang populer di tahun 2021, Kim Min Gwi, harus menanggung pengurangan scene sebagai “hukuman” atas terbongkarnya skandal perselingkuhan dengan mantan pacarnya. Lalu, Ji Soo kehilangan kesempatan menjadi peran utama dalam drama River Where the Moon Rises ketika diketahui pernah melakukan perundungan di masa SMP. Drama Joseon Exorcist kehilangan sponsor dan henti tayang akibat salah dalam menampilkan sejarah budaya Korea dan Tiongkok sehingga menimbulkan kontroversi.
Publik figur dibebani tanggung jawab moral yang tinggi. Di Korea Selatan, tuntutan moral terhadap pesohor sangat erat kaitannya dengan nilai budaya Confucianism, yang menekankan harmoni sosial, etika, dan tanggung jawab individu terhadap masyarakat. Kasus seperti perselingkuhan atau perundungan melanggar nilai kesopanan (ye), sementara kesalahan dalam representasi sejarah bangsa sering dianggap tidak patriotik, melanggar semangat nasionalisme yang kuat.
Orang yang memiliki akses luas ke ruang publik diharapkan mampu menjadi teladan dan menunjukkan perilaku positif karena pengaruh mereka yang besar terhadap masyarakat. Sebagai figur yang dikenal publik, banyak perhatian tertuju pada kiprah mereka, sehingga pelanggaran moral atau norma budaya akan lebih mudah dideteksi, disoroti, dan dikritik. Popularitas mereka juga sering kali terbangun atas dukungan masyarakat. Oleh karena itu, tanggung jawab moral untuk menjaga reputasi dan memenuhi harapan publik menjadi bagian tak terpisahkan dari posisi mereka sebagai panutan dalam kehidupan sosial.
Dinamika Sosial dan Polarisasi Budaya
Dari aspek kontrol sosial, cancel culture ini dapat dipandang sebagai hal positif, menandakan masyarakat masih sangat peduli menjaga nilai luhur bangsa. Teori Social Control milik Edwin H. Sutherland menerangkan kontrol sosial mencakup cara-cara masyarakat menegakkan norma dan aturan melalui mekanisme formal (hukum, regulasi) maupun informal (opini publik, stigma sosial). Termasuk dalam cara-cara informal di sini adalah cancel culture oleh netizen dalam bentuk memberikan tekanan kolektif. Cancel culture dalam konteks ini berfungsi sebagai alat kontrol sosial guna mempertahankan harmoni budaya, etika publik, dan nilai-nilai seperti kesopanan, integritas, serta patriotisme. Praktik ini menegaskan bahwa perilaku publik figur akan selalu dipantau ketat agar tidak mendistrosi tatanan sosial.
Dalam sudut pandang budaya, cancel culture mencerminkan pemberdayaan sosial, masyarakat secara kolektif dapat mengoreksi sekaligus memberikan tekanan kepada figur publik atas tindakan yang dianggap melanggar kepatutan, norma sosial, atau moral. Situasi ini menegaskan bahwa sistem kemasyarakatan yang kohesif masih berfungsi. Terlebih ketika reaksi publik ini mempengaruhi pengambilan keputusan di ranah profesi. Tindakan mengurangi scene, mengganti pemeran utama, batal mensponsori merupakan bukti kekuatan cancel culture.
Cancel culture menciptakan polarisasi budaya dengan menetapkan batas tegas antara “benar” dan “salah” berdasarkan nilai dominan suatu kelompok. Penegasan ini membawa dampak yang kompleks. Dari sisi positif, fenomena ini memperkuat norma sosial dengan memberikan panduan tentang perilaku mana yang diterima, mana yang tidak. Di sini masyarakat berdaya dalam menegakkan keadilan atau menyuarakan isu penting. Namun, terdapat sisi negatif yaitu adanya tekanan yang tidak adil bagi individu atau kelompok minoritas yang menganut nilai yang tidak selaras dengan standar dominan. Dampak tekanan ini bisa berupa penghakiman impulsif, stigma sosial, atau kehilangan kesempatan untuk memperbaiki diri. Untuk itu, dalam cancel culture diperlukan keseimbangan antara kontrol sosial dan ruang untuk dialog serta keadilan.
Era media sosial yang memfasilitasi digitalisasi nilai budaya ini memindahkan mekanisme kontrol tradisional ke ranah daring. Ini memperlihatkan dinamika kekuasaan baru. Kendali sekarang dipegang oleh masyarakat luas yang memiliki pengaruh kuat terhadap opini publik. Dalam konteks multikultural, cancel culture dapat memperbesar konflik nilai mengingat masyarakat memiliki pandangan dan norma yang heterogen terkait isu tertentu, seperti agama, gender, atau tradisi budaya. Ketika norma dominan dari satu kelompok diterapkan secara luas, ini dapat dianggap menekan kelompok lain yang memiliki nilai berbeda. Konflik nilai ini kerap diperburuk oleh media sosial yang cenderung memfasilitasi reaksi emosional, tidak menyediakan ruang dialog, klarifikasi, atau mediasi yang produktif, serta sulit menciptakan peluang rekonsiliasi dan rehabilitasi.
Kontrol Sosial dan Rehabilitasi
Cancel culture sebagai bentuk kontrol sosial bisa menjadi alat yang efektif untuk menegakkan nilai moral dan sosial. Namun, jika dilakukan secara impulsif, tanpa verifikasi fakta, atau dengan niat buruk, dapat menjadi bentuk perilaku abusif yang tidak adil. Kesalahan penghakiman oleh netizen sering dipicu oleh desakan emosional, bias kelompok, atau minimnya informasi. Ini menciptakan risiko pelanggaran hak individu. Sebagai contoh Kevin Hart di Amerika Serikat. Pada tahun 2018, Hart mengundurkan diri sebagai pembawa acara Academy Awards setelah cuitan lamanya yang dianggap homofobik kembali diungkit. Hart meminta maaf secara terbuka dan menyatakan dirinya telah berkembang sebagai individu. Lantas, Ellen DeGeneres memberikan Hart ruang untuk menjelaskan diri di acaranya. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana ruang pemulihan dan dialog dapat menjadi jalan yang lebih bijak dalam cancel culture.
Berbeda dengan yang terjadi di Korea Selatan, aktor Ji Soo kehilangan peran dalam drama River Where the Moon Rises setelah tuduhan perundungan saat sekolah muncul. Ji Soo meminta maaf dan mengundurkan diri serta menanggung kenyataan karirnya saat ini terganjal oleh perbuatannya di masa lalu. Dalam konteks ini, masyarakat jarang memberi ruang untuk rekonsiliasi. Ini menciptakan tantangan bagi korban cancel culture yang telah menunjukkan upaya perbaikan.
Di Indonesia, kasus Saipul Jamil, yang dipenjara atas pelecehan seksual, mendapat reaksi keras saat ia kembali ke dunia hiburan. Masyarakat menolak kembalinya Saipul sebagai figur publik, memandangnya tidak layak meskipun telah menjalani hukuman. Reaksi ini mencerminkan bagaimana cancel culture sering kali memaksakan “hukuman sosial” yang lebih panjang daripada hukuman hukum itu sendiri. Karenanya, setelah terjadi cancel culture, masyarakat perlu memikirkan pendekatan lebih adil dengan mempertimbangkan proses rehabilitasi dan perubahan perilaku “korban” cancel culture. Masyarakat dapat diajak untuk secara lebih adil dan bijak menilai perkembangan individu secara holistik, bukan hanya berdasarkan kesalahan di masa lalu.
Cancel culture menjadi fenomena sosial unik yang mencerminkan kekuatan kolektif masyarakat dalam menegakkan norma dan nilai budaya, tetapi juga membawa tantangan etika dan keadilan. Sementara praktik ini dapat menjadi alat kontrol sosial yang efektif, pendekatan yang terlalu impulsif atau tanpa ruang untuk rehabilitasi berisiko menjadi tidak adil. Tindakan kontrol sosial ini harus diimbangi dengan prinsip kehati-hatian, verifikasi informasi, dan pendekatan yang konstruktif. Dengan menciptakan keseimbangan antara akuntabilitas dan peluang untuk dialog serta rekonsiliasi, masyarakat dapat mengelola cancel culture secara bijak, sehingga tidak hanya menghukum, tetapi juga memberikan kesempatan bagi perubahan yang lebih konstruktif.
Artikel ini merupakan Rangkuman Ulang Dari Berita : https://mediaindonesia.com/forum-mahasiswa/730443/cancel-culture-kontrol-sosial-polarisasi-budaya-dan-ruang-rehabilitasi